Skip to main content

Tentang Sebuah Pelarian dan Bertemu Teman Lama







Saya gak tahu, apa makna yang paling tepat dari yang saya sebut pelarian ini. Menghindari masalah? Menemukan solusi? Mencari jawaban? Mengobati rasa sakit? Entah...Tapi yang pasti, ini adalah satu keputusan yang saya rasa begitu tepat untuk saya ambil di bulan ini (Maret). Mendadak, tanpa penuh pertimbangan, tanpa ada keraguan, langsung tancap gas. Hanya mengandalkan perasaan "Kok rasanya sumpek banget ya hidup. Pergi kemana ya..." Dan tiba-tiba saja muncul nama kota ini di otak ! SEMARANG !


Setelah mengatur jadwal, lalu saya mengontak beberapa teman yang sekiranya bisa "menolong" dan bertemu. Sayangnya, kita sudah bukan anak kecil yang waktu luangnya begitu banyak. We're an adult now. So, they have to go to work to surviving this life.Then, i remember this girl ! Kuingat-ingat ternyata sudah empat tahun lebih kita lost contact. Sibuk dengan kelanjutan hidup masing2 setelah lulus SMA. So, i ask her active number to someone who i think possible to has it.

Gak lama, nomor aktifnya berhasil saya kantongi. Senang sekali rasanya bisa berkomunikasi dengan teman yang sudah lama lost contact. Saya langsung chat menanyakan kabar dan bertanya mengapa nomornya gak aktif. Ternyata hp dia rusak dan dia kehilangan semua nomor di hp tersebut. Tak mempermasalahkan hal itu, yang penting sekarang sudah bisa berkomunikasi kembali. Lalu, saya pun memberitahunya kalau saya berencana ke Semarang dalam waktu dekat. Kami tektokan sedikit untuk membahas soal saya harus turun dimana, soal penginapan, juga menyusun rencana kecil mau kemana saja disana. Sebenarnya saya gak terlalu memusingkan akan mengunjungi tempat mana saja. Tujuan utama saya cuma ingin pergi ke kota ini sekaligus bertemu teman lama. Sekedar melepaskan diri sejenak dari aktivitas sehari-hari yang sudah terasa monoton.

Sekitar dua hari kemudian dari obrolan chat tersebut, saya akhirnya berangkat. Dia menyarankan saya menggunakan shuttle atau travel saja agar bisa langsung masuk kota. Sebenarnya saya berniat menggunakan bus. Tapi, kalau bus gak sampai titik kota atau titik dimana saya harus turun. Pukul setengah tujuh pagi saya menuju agensi. Konfirmasi dengan CS untuk keberangkatan pukul tujuh pagi. Ternyata shuttle saya sedikit delay dan mengharuskan kami menunggu kurang lebih satu jam. Sekitar jam delapan kurang, saya berangkat. Sepanjang perjalanan entah mengapa yang biasanya saya lebih memilih menahan kantuk demi menikmati pemandangan ketika bepergian, kali ini saya memilih tidur. Ternyata benar-benar sepanjang perjalanan saya terlelap. Bangun-bangun sudah sampai Semarang. 

Perjalanan ini merupakan perjalanan pertama saya seorang diri ke kota lain dalam rangka, saya rasa gak terlalu berlebihan kalau saya sebut travelling walaupun niatnya bukan travelling. Nikmat sekali rasanya sebab memakai uang hasil kerja keras sendiri. Apalagi uang tersebut adalah gaji pekerjaan pertama saya. Keinginan ini pernah saya tulis dalam sebuah buku. Bahwa Semarang menjadi salah satu list kota yang ingin saya kunjungi. Harap maklum atas kebahagiaan saya berhasil mewujudkan keinginan yang mungkin bagi orang lain gak seberapa itu. Mengingat saya yang dulunya anak rumahan sekali. Jadi, untuk pergi-pergi seorang diri ke kota lain adalah sesuatu yang masih saya takutkan dan terasa aneh, i don't know why. Maka dari itu, perjalanan ini bisa dibilang prestasi kecil bagi saya. 

Sebelum saya sampai di tempat tujuan. Saya dan beberapa orang dengan titik kedatangan yang sama, sempat dibawa muter-muter oleh pak sopir. Hal itu disebabkan ada dua orang dengan tujuan bandara yang meminta didahulukan sebab mengejar pesawat. Mereka protes sebab shuttle kami delay. Beruntung yang lain memberi izin untuk mereka didahulukan. Saya pribadi gak masalah. Toh saya gak buru-buru, malah saya dapat tambahan perjalanan keliling kota gratis. Atas kejadian itu, saya jadi tahu kalau jadi sopir di travel agency punya momen-momen menjengkelkan dimana mendapat over time.  Mereka mendapat jadwal yang mau gak mau mengharuskan mereka kejar-kejaran dengan waktu. Bahkan untuk berhenti makan lima belas menit pun itu sangat sulit. Kelihatannya memang "cuma nganter orang" Tapi kalau kita lihat lebih dalam lagi tanggung jawab yang mereka emban gak kecil. Bagaimana mereka harus mengatur waktu untuk kebutuhan pribadi. Bagaimana mereka harus tepat waktu ketika mendapat jadwal yang berdekatan. Di satu sisi mereka harus tetap  memastikan perjalanan penumpang aman dan nyaman. Belum lagi kalau kendaraan yang mereka bawa bermasalah di jalan. Dalam pengejaran waktu itu pun, pak sopir mengantarkan kami sambil misuh-misuh dan entah berapa kali mengucapkan permohonan maaf karena keterlambatan dan waktu tempuh yang molor. 

Setelah mengantarkan dua orang tadi. Akhirnya saya dan dua penumpang terakhir sampai di titik tujuan. Saya menunggu jemputan beberapa menit sebab teman saya sedang ada urusan. Perjalanan ini benar-benar gak terasa. Badan saya rasanya cuma pindah melalui pintu ajaib. Perasaan tadi masih di Jogja, tapi sekarang sudah di beda kota. Beruntungnya shuttle yang saya naiki gak ada stella jeruknya haha. Jadi, kepala saya aman. Soalnya hidung saya sensitif dengan wewangian. Apalagi stella jeruk di dalam mobil. Cuma membayangkan saja, saya bisa pusing dan mual. Setelah urusan teman saya selesai, akhirnya batang hidungnya kelihatan. Finally, we meet again after along time. Kami bersalaman dan berpelukan. Ah, betapa lama sekali rasanya kami gak bertemu.

Kami berjalan kaki sedikit untuk ke tempat parkir dimana dia memarkirkan motornya. First impression setelah hampir lima tahun gak ketemu adalah dia kurusan sekarang. Saya cukup kaget sebab ketika SMA dulu, dia cukup sering mengeluhkan bodynya yang menurutnya gendut. Padahal menurut saya bodynya sudah cukup ideal dengan tingginya. Bukan cuma hal itu yang membuat saya cukup kaget. Di tengah percakapan basa-basi dua teman yang sudah lama gak bertemu, tiba-tiba dia menyeletuk "I'm married" Sebuah kata yang kupikir akan datang belakangan untuk seseorang sepertinya. Entah, mungkin saya melihatnya dia, dari obrolan-obrolan ketika SMA dulu, dia adalah seorang perempuan yang memiliki kemauan keras terhadap keinginannya sehingga menikah akan menjadi urusan belakangan. Tapi, mungkin anggapan saya yang kurang tepat atau memang lima tahun itu adalah waktu yang gak mengherankan untuk mengubah kehidupan seseorang termasuk membuat orang tersebut mengganti prinsip hidupnya. Belum selesai kekagetan saya, dia menyeletuk lagi "Aku udah punya anak juga, satu" Seketika muncul banyak kata why dan when di dalam benak saya. Tapi, gak saya keluarkan saat itu juga. Saya masih ingin kangen-kangenan dan saya gak mau juga kalau harus kepo sebegitunya dengan hidup seseorang. Saya takut hanya akan julid ketika keputusan-keputusannya gak sama dengan saya atau menurut saya kurang tepat untuknya. Tapi yang pasti dia terlihat berbeda sekarang. Nanti lah saya ceritakan.

Tujuan pertama kami sebelum ke hotel untuk istirahat adalah makan. Kebetulan sudah waktunya makan siang dan sepertinya makan menjadi salah satu cara terbaik untuk mengobrol. Sambil menyantap makanan masing-masing, kami mengobrol. Satu pertanyaan yang saya berikan kepadanya adalah menapa memutuskan menikah di usianya saat itu. Lalu dia menceritakan apa-apa yang terjadi selama kami gak bertemu selama kurang lebih lima tahun. Saya paham, gak semua kisahnya membuat dia bahagia. Saya dapat merasakan itu dari bagaimana raut dan intonasi ketika dia menceritakannya. Tapi, satu hal yang membuat saya bahagia dan gak perlu khawatir dengannya adalah menikah dan memiliki anak di usianya yang terbilang masih muda  benar-benar membuatnya bahagia. Saya bisa merasakan kebahagiaan itu dari raut dan intonasi ketika menceritakan buah hatinya. Hadirnya buah hati yang menggemaskan itu sudah cukup baginya sekarang. Fokusnya sekarang adalah bagaimana dia bisa menjadi ibu yang bisa membahagiakan anaknya. Kebahagiaan si kecil dan orang-orang di sekitarnya adalah kebahagiaannya. Selesai makan, kami menuju hotel untuk beristirahat. Baru sore atau malamnya kami keluar ke salah satu titik pusat kota.

Malam harinya, kami keluar. Obrolan kami gak putus. Kami mengobrol sepanjang jalan menuju salah satu cafe di kota tua dimana sebelumnya, kami sempat mengabadikan foto berdua. Sambil menikmati cappucino yang saya pesan dan es cokelatnya, agaknya cerita-cerita itu menempel di dinding-dinding bangunan tua cafe itu. Perpaduan atmosphere kota tua yang saat itu gak terlalu ramai, pahitnya cappucino,  dan perasaan nostalgia masa-masa SMA ketika mengobrol dengannya. Cukup membuat saya lupa akan sumpeknya hidup saya saat itu.  Dan di antara tenangnya kota (entah mengapa kota ini terasa lebih tenang dari jogja wkwk) dan kehangatan, cerita2 itu mengalir hingga larut malam dan terus berlanjut di atas motor di sepanjang jalan yang kami lewati, di tempat makan pinggir jalan yang kami singgahi, hingga kemali ke hotel.

 Di tengah-tengah obrolan malam harinya sepulang kami dari pusat kota, dia diminta untuk pulang karena harus menjaga anaknya. Sebab besok juga dia masuk kerja. Baru paginya dia balik ke hotel untuk mengambil barang dan berpamitan sekaligus membawa si kecilnya untuk dikenalkan dengan teman ibunya ini. Hingga pertemuan terakhir itu, kami masih mengobrol, gak cuma dia yang bercerita. Saya juga menceritakan apa-apa yang terjadi di hidup saya selama kami gak bertemu. Kami mendengar dan bercerita satu sama lain. Walaupun kesempatan kami bercerita berkurang sebab dia harus pulang- tadinya dia akan menemani saya di hotel dan baru pulang esok harinya, tapi saya  bersyukur bisa berbagi cerita dengannya lagi. Kami mendengar dan memberi tanggapan penuh pengertian sama seperti dulu. Saling memberi support satu sama lain. 

Esok siangnya saya memutuskan pulang dengan shuttle yang sama. Walaupun singkat, perjalanan itu tetap berkesan bagi saya. Saya cukup menjadi saksi pahit manisnya kehidupannya semasa SMA. Dia salah satu teman terdekat saya. Melihat kehidupannya sekarang, i mean she is a mother now, rasanya masih gak menyangka. Actually, i can't relate it cause i have not become a mother yet. Menikah dalam waktu dekat masih belum ada di kamus kehidupan saya saat ini. Saya masih ingin menikmati kehidupan sendiri. Masih ingin mengunjungi kota-kota lain dan mungkin negara lain (?) Tapi walaupun prinsip hidup kami berbeda, gak ada yang menyalahkan terhadap yang lain. Yang terpenting adalah bisa terus support satu sama lain. Melihat lika-liku hidupnya gak mudah hingga saat ini. Saya bahagia dan lega juga bangga ketika dia sudah menemukan kebahagiaannya. Saya bangga terhadapnya bisa yakin mengambil keputusan yang menurut saya keputusan tersebut terbilang besar untuk usianya. Juga terhadap tekadnya menjadi seorang ibu terbaik untuk buah hatinya. Semangatnya untuk gak menyerah terhadap hidup pun memberi dorongan semangat untuk saya pribadi supaya gak menyerah juga di dalam hidup. Walau masalah serumit dan seberat apapun. Walau kondisi diri sendiri entah sudah selemah apa. Di tengah perjalanan, gak lupa saya mengirimkan pesan tentang terimakasih padanya sudah menyempatkan waktu bertemu dan sudah mau direpotkan haha. Dia pun berterimakasih karena saya sudah mau berkunjung.

Perjalanan kali ini memberi pelajaran untuk saya tentang sebuah pelarian. Ternyata sesekali kita butuh lari. Lari dari apa? Lari dari semua hal yang membikin kita sesak. Lari dari pekerjaan yang membosankan, lari dari rutinitas yang itu-itu saja, lari dari luka-luka masa lalu yang tak kunjung sembuh, lari dari manusia-manusia yang menyebalkan, lari dari ketidakberhasilan, lari dari pergulatan dengan diri sendiri, apapun. 

Lari, mencari sesuatu yang baru. Sejenak meninggalkan hal-hal yang perlu ditinggalkan sesaat. Setelah sekiranya cukup, jangan lupa pulang. Pulang ke pekerjaan yang membosankan, pulang ke rutinitas yang itu-itu lagi, pulang untuk menyembuhkan kembali luka-luka lama, pulang untuk menerima ketidakberhasilan, pulang untuk menjalani pergulatan dengan diri sendiri dengan lebih gagah, dan pulang membawa cerita dan pelajaran baru dari orang lain yang kau temui. Akhir kata, will always proud of you in every choices that you take for your life, gurl ! See you in other new stories.

Oiya, di perjalana pulang. Saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang sudah lansia. Setelah duduk diam-diaman cukup lama. Ibu itu membuka percakapan. Kami sempat mengobrol tentang saya yang kuliah jurusan Sastra Inggris dan beliau yang juga memiliki anak yang dulu kuliah Sastra Inggris. Beliau bercerita tentang anak-anaknya yang berpencar karena pekerjaan. Ada yang di kota A, ada yang di kota B, ada yang di kota C. Perjalanan beliau kali ini adalah untuk mengunjungi cucunya yang berada di Jogja. Katanya sesekali dia harus pergi ke kota-kota tersebut demi menjaga cucunya sebab anaknya bekerja. Sebegitu besarkah cinta dari seorang ibu ? Saya masih belum bisa merasakan posisi teman saya itu. Bagaimana bahagianya dan cintanya terhadap seorang anak. Pengalaman saya baru pernah menjadi anak. Jadi baru bisa merasakan pengalaman cinta seorang anak pada ibunya, belum bisa merasakan bagaimana mencintai seorang anak. Selain tentang pelarian. Mungkin ini menjadi salah satu pelajaran lain yang saya dapatkan di perjalanan saya kali ini, yaitu cinta kasih.

Sekian.
 


Comments